Rp 60.000
Riza Pahlefi
ISBN: xxxxxxxxxxxxxx
Tebal: xxii+ 204 hlm
Kertas: BP 72 gr
Ukuran: 13 x 20 cm
Cover: Soft Cover
Laminasi: Doff
Isi: Hitam Putih
Membual “Perbualan Pagi”
Apakah kalian pernah makan minum di kedai kopi (tradisional) di tempat kalian?
Ini pertanyaan penting. Sebab jika kalian belum pernah menikmati segelas kopi atau sepiring apa pun di tempat itu, tentu kalian belum dapat merasakan segala kenikmatan dan kesedapan yang dihidangkannya; keramaiannya yang menyunyikan, kebisingannya yang menenangkan, kepengapannya yang melegakan, kenorakannya yang mengasyikkan, dan ke-an, ke-an, ke-annya yang lain. Bahkan, tidak sedikit orang yang merasa dapat lepas dari “himpitan” sesuatu beban, misalnya, ketika ia duduk di kedai yang begini ini. Ajib.
Bayangkanlah. Di sebuah ruko berukuran efektif 5 x 15 meter misalnya, ada tujuh atau sembilan meja, atau bahkan lebih. (Bahkan tidak sedikit meja dan kursi tersebut sampai “meluah” ke halaman depan kedai ruko tersebut). Ada meja berbentuk bulat bundar, ada pula yang persegi empat. Setiap meja akan dikelilingi sekitar empat sampai enam kursi.
Jika yang datang ke sana bersendirian, lalu duduk bermenung sendiri, menikmati suasana kesendiriannya, biasanya itu tidak akan berlangsung lama. Sebab tak lama kemudian kursi di mejanya itu akan (mulai) diisi oleh kawan-kawannya yang datang belakangan, baik karena sudah saling berjanji maupun yang tidak. Ini bisa terjadi, biasanya jika seseorang itu datang ke sebuah kedai kopi langganannya. Dan sememang begitulah biasanya.
Dan jika (kelompok) pelanggan yang datang itu melebihi jumlah kursi yang tersedia di meja tersebut, maka kursi dari meja sebelah akan diambil dipakai, walau menyebabkan pelanggan di meja itu duduk agak sedikit bersempit-sempit─jika mejanya bundar; atau dua meja akan disatukan dan otomatis jumlah kursinya menjadi dua kali lipat─ jika mejanya persegi empat.
Nah, di sanalah para pelanggan duduk. Memesan kopi atau teh, kopi telow, teh telow, atau telow setengah masak, atau apa saja makanan minuman yang tersedia, sesuai selera. Lalu mereka pun akan berbual berbincang, dengan air ludah berkecai-kecai dan mulut berasap melayang-layang.
Macam-macam topik dibual-bincangkan: ada hal yang berhubungan dengan agama dan ulama, lalu loncat ke politik, kebengaian kebangangan kebijakan pemerintah, korupsi dan pelakunya, lalu bisa ke budaya, juga bisa kembali loncat ke sosial ekonomi, bahkan juga hingga ke serba-serbi rumah tangga orang. Dan semua-mua hal yang dibual-bincangkan itu─langsung atau tidak langsung─berkait-kelindan dengan “tepi kain orang”. Lengkap. Baik yang sedang up to date maupun sudah basi dan dicungkil-cungkil kembali. Maka majelis bual bincang itu pun menjelma menjadi majelis fitnah gibah. Dari semua meja. Dari semua mulut berasap dan bercuip-cuap penghuni meja.
(Perlu diingatkan, bahwa rupanya perihal bual bincang tentang “tepi kain orang” itu ada yang berhubungan dengan kepentingan demi kemaslahatan umat dan ada pula yang tidak. Maksudnya, ada yang berguna untuk kepentingan bersama, ada pula yang hanya sekadar “membunuh karakter” seseorang saja. Yang pertama, konon dibolehkan, sedang yang kedua dilarang. Wallahu’alam).
Namun, ia meninggalkan sesuatu yang menarik. Dari setiap kelompok perbualan itu tidak ada moderator dan notulennya, dan tidak ada simpulan dari hasil bual-bincangnya. Juga tidak ada pendikotomian strata sosial, strata ekonomi, strata intelektual, dan strata-strata lainnya. Setiap orang dari setiap meja punya hak yang sama untuk mengungkapkan apa saja tentang topik yang sedang dibual-bincangkan. Apa saja. Sesuka ‘hati perut’ saja.
Di situ, setiap orang boleh berpendapat dengan hujjah yang paling intelektual─dengan analisis dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan─juga boleh pendapat yang hanya sekadar berisi maki-hamun dengan kata kalimat yang paling kurang ajar untuk didengar. Atau juga boleh pendapat yang tak bermakna apa-apa, sekadar menambah riuh bisingnya suasana. Boleh! Sah-sah saja. Begitu kononnya.
Dan ajib, semua pendapat itu, apa pun isinya, tidak dapat dituntut secara hukum oleh pihak-pihak yang tak bersependapat. Di situ, tak dikenal istilah “ujaran kebencian”, walau wajah kawan bual-bincang, misalnya, sampai berubah macam “udang dipanggang”. Bahkan kadang juga sampai mengempak meja dan menumpahkan air kopi dari gelasnya. Tapi ya sekejap itu saja, setelah itu reda.
Nah, di tempat seperti itulah semua kisah peristiwa dalam buku yang kalian pegang dan baca ini terjadi. Kisah yang menjadi catatan peristiwa kegeraman, kesenangan, kenyirapan, keceriaan, kemarahan, kepedulian, kerisauan, dan ke-an, ke-an, ke-an dua tokoh utama semua tulisan dalam buku ini: Wak dan Alang Koteng.
Sekali-sekala Wak tak ikut serta (duduk) secara langsung dalam bual-bincang seru itu, dan membiarkan Alang Koteng ditemani Lek Deraman dan/atau Yong Mael dan/atau Atah Yim dan/atau Wak Kedon dan/atau Andak Ketar dan/atau Mak Tipah dan juga Munah. Namun, meskipun secara zahir Wak tak hadir, pada dasarnya Wak tetaplah selalu ada di sana, dalam setiap bincang sesiapa saja di buku ini. Sebab semua kisah bual-bincang yang kalian baca di buku ini sememang adalah hasil dari celoteh tulis Wak.
Lalu, siapa “Wak” itu?
Sebagian kalian mungkin akan menyimpulkan, bahwa Wak adalah penulisnya, Abah Riza Pahlefi. Itu dapat diduga dari karakter Wak yang muncul dari pendapat yang disampaikannya secara verbal: meluruskan yang lurus, membengkokkan yang bengkok; tidak mendendam, tapi tak pernah lupa terhadap sejarah dan peristiwa; lebih banyak paham terhadap aturan dan hal-hal strategis daripada tokoh lainnya; dan sebagainya. Sah-sah saja. Sebab, sebagai mantan Wakil Bupati Bengkalis dan Ketua DPRD Bengkalis tentu Abah Riza akan lebih banyak paham dan leluasa melihat topik pembicaraan dalam buku ini, baik aturan mainnya maupun solusi kemasyarakatannya. Sah-sah saja.
Namun, mungkin akan ada juga sebagian kalian yang menyimpulkan, bahwa Wak adalah “aku”─pembaca, kalian sendiri. Atau bisa juga Wak adalah diri dia sendiri, sebagaimana tokoh lainnya. Sedang penulisnya Abah Riza Pahlefi lebur dalam semua tokoh yang sedang kalian baca kisah dan perkataan di dalam buku ini: Wak, Alang Koteng, Lek Deraman, Yong Mael, Atah Yim, Wak Kedon, Andak Ketar, bahkan Mak Tipah dan Munah. Abah Riza, penulisnya, ada dalam semua mereka, dalam ungkapan verbal yang mereka sampaikan. Juga sah-sah saja. Terserah!
Lalu, apa saja yang dikisahkan Wak lewat jari tangan penulis semua kisah dalam buku ini, Abah Riza Pahlefi?
Ya, semua hal: Ada bab tentang Undang-Undang Cipta Karya yang menghebohkan Indonesia, bab tentang Roro Bengkalis-Sungai Pakning yang tak kunjung lancar jaya, bab tentang rancangan program pemerintah pusat atau daerah (khususnya Bengkalis) yang serampangan, bab sampah, bab kedayusan eksekutif dan legislatif di Bengkalis, Riau dan Indonesia pada umumnya, dan lain sebagainya. Pokoknya semua hal yang menjadi perbincangan di kedai-kedai kopi lainnya secara nyata.
Namun, perlu diingat, bahwa semua tulisan dalam buku yang kalian pegang dan baca ini merupakan tulisan yang dibuat Abah Riza Pahlefi di dinding Facebook “Riza Pahlefi Thohir”. Dan tak satu pun dari tulisannya mempunyai judul topik bahasannya. Tulisan-tulisan itu hanya ditulis dengan judul “Perbualan Pagi (1)”, “Perbualan Pagi (2)”, “Perbualan Pagi (3)”, dan seterusnya. Karenanya, jika tidak membaca isinya, kita tak dapat tahu apa hal yang sedang dibual-bincangkan tokoh-tokoh dalam kisah itu.
Padahal, Abah Riza tahu betul, bahwa judul akan sangat berguna untuk dapat mengarahkan “horison harapan” pembaca terhadap tulisan yang sedang dibacanya. Judul tulisan dapat mempermudah dan meringankan beban pembaca kala membaca. Ini catatan kami pertama, yang cukup menggeramkan, sebab menyengsarakan pembaca. Untung saja tulisan-tulisan dalam buku ini tidak panjang-panjang amat, sehingga dapat dituntaskan dalam waktu yang relatif tidak lama.
Sebagai contoh, kami coba membaca “Perbualan Pagi (10)”. Tulisan yang berkait-kelindan dengan rencana heboh “orang Jakarta” hendak merevisi UUD 1945 itu kami baca (tanpa suara), dan hanya menghabiskan waktu selama dua menit tujuh detik saja. Namun, itu pembacaan selintas sekali jalan, tanpa disendat interpretasi dan “senyam-senyum” atas isi dialog antara Wak dan Alang Koteng yang kaya makna. Jika hendak menginterpretasi isi, tentu saja kita terpaksa untuk ulang membaca. Begitulah.
Kedua. Karena kami cukup mengenal Abah Riza Pahlefi dan kebiasaannya dalam menulis, maka kami sangat percaya, bahwa semua kisah dalam buku ini ditulis Abah Riza Pahlefi secara langsung di perangkat gawai (handphone/HP/smartphone). Sebab sememang begitulah kebiasaan Abah Riza. Bahkan, ketika menulis novel sejarah Batin Hitam (Tarebook, Jakarta, 2020) yang fenomenal itu, pun Abah Riza Pahlefi menulisnya di gawai, sebelum dipindahkan ke PC atau laptop dan menambah-kurang, merautnya. Begitulah kebiasaan penulis satu ini. Dan ini realitas yang mencengangkan.
Ketiga. Karena latar belakang budaya dan lingkungan kehidupan penulisnya di Bengkalis, Riau Pesisir, maka sebagian besar kisah yang terjadi dalam buku yang kalian pegang dan baca ini sangat banyak sekali menggunakan diksi-diksi yang populer di daerah Kota Bengkalis sekitarnya, atau Riau Pesisir pada umumnya. Bagi pembaca yang di luar wilayah geografis itu mungkin akan sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca, terkhusus beberapa kata dan/atau idiom yang digunakan penulisnya: kata dan/atau idiom sehari-hari rakyat biasa.
Misal kalimat “Nacam mano nak mileh presiden kalau masih pandemi ni. Banyak yang bungkang kang.” Kalimat ini diucapkan Alang Koteng dalam “Perbualan Pagi (10)”, yang jika diterjemahkan secara lebih populer, maka menjadi “Bagaimana mau memilih presiden kalau masih pandemi. Bisa-bisa banyak yang akan mati nanti.”
Kenapa Abah Riza memilih memakai diksi-diksi yang sangat Melayu Bengkalis, Riau Pesisir itu? Tentu saja alasannya adalah ekspresivitas. Karena kata “bungkang”, misalnya, dinilai memiliki makna yang jauh lebih dalam, kaya, dan lebih tepat untuk menggambarkan suasana dialog antara Wak dan Alang Koteng itu daripada sekadar kata “mati”. Dan ekspresivitas ini sangat penting bagi orang Melayu Riau Pesisir, tak semata di Bengkalis sekitarnya.
Lalu, jika kalian lebih teliti dan jeli ketika membaca tulisan-tulisan dalam buku ini, kalian juga akan berjumpa dengan kata “macam” dan “nacam”. Kedua kata ini mempunyai makna yang sama dalam berbagai dialog, namun pengucapannya berbeda. Dan itu dijumpai berulang kali. Tampak sekali, bahwa ini hal yang disengaja oleh penulisnya.
Dan belakangan baru didapat tahu, bahwa ternyata penyebab ada perbedaan itu adalah asal daerah pengucapnya. Misal, kata “nacam” itu ternyata hanya digunakan oleh tokoh Alang Koteng saja. Tokoh lain seorang pun tak ada yang memakainya. Ini membuat kita berkesimpulan, bahwa Alang Koteng agaknya berasal dari daerah, kecamatan, atau desa yang berbeda dengan tokoh lainnya, meskipun semua mereka adalah orang Melayu Riau Pesisir. Alangkah detailnya Abah Riza dalam menulis kisah-kisah dalam buku ini.
Dan semua uraian itu adalah selintas pandang saja. Sebetulnya banyak hal lagi yang hendak kami bualkan. Baik tentang isi, cara menuliskan, pola tuang, perspektif sosiologis, mekanisme, serta teknik karakteristik menuliskan bahasa ucap, dan lain sebagainya. Juga tentang “Catatan” di bawah beberapa tulisan “Perbualan Pagi” Riza Pahlefi ini. “Catatan” ini ternyata dapat menjadi media penghubung sosilogis dan psikologis antara kalian─sebagai pembaca─dengan isi bacaan. Abah Riza Pahlefi cerdik sekali menyiasati.
Kami percaya, jika kalian membaca lebih jeli dan teliti, mungkin kalian akan menemukan “sesuatu” yang lebih baik dan lebih banyak lagi, baik untuk memperkaya intelektual dan jiwa, juga sebagai media “melampiaskan” sesuatu dari hati, yang selama ini susah untuk dibunyikan, diucapkan, disampaikan. Dan sememang itulah salah satu guna membaca tulisan-tulisan seperti ini. Ia dapat menjadi semacam alat pembersih dari sumbat-sumbat yang penuh ancaman keamanan, ancaman sosial, dan psikologis. Ia menjadi semacam media “katarsis”, pembersihan diri. Walau tak sejauh itu betul agaknya.
Nah, perlukah kita membualkan perihal fungsi kedai kopi sebagai media “katarsis” ini, dalam hubungannya dengan kisah-kisah yang kalian baca di buku ini? Ah, sudah sajalah ya. Nanti entah ke mana-mana pulak jadinya “Membual Perbualan Pagi” ini. Bisa merempat, dan malah bikin kalian menjadi tersesat.
Ulasan
Belum ada ulasan.